Awalnya dia sampai di negeri baru pas musim semi. Pohon-pohon mulai berbunga, tapi dia malah bingung karena cuaca di sini gak bisa ditebak—kadang cerah, tiba-tiba hujan. Dia cuma bisa ngeliat orang pada pakai jaket tipis atau malah kaos lengan pendek, sementara dia sendiri masih ragu, "Ini panas atau dingin, sih?" Akhirnya, dia memutuskan buat bawa sweater tapi tetep pakai sandal, biar gak terlalu norak. Lucu juga ngeliat dirinya sok nyatuin diri padahal jelas-jelas keliatan orang asing.
Suatu hari, dia diajak main "spin and say" sama teman barunya. Giliran dia, jarumnya nunjuk ke kata "makanan tradisional". Dia coba jelasin pake bahasa isyarat plus sedikit bahasa Inggris ala kadarnya. "It’s… uhh… like bread but sticky, and sweet!" Teman-temannya pada mikir keras, ada yang nebak "roti?" "donat?" Sampe akhirnya ada yang teriak, "MOCHI!" Dia langsung senyum-senyum sendiri, "Iya, itu! Tapi gak tau namanya." Gokil juga ngobrol kayak gini—kayak tebak-tebakan absurd.
Ada lagi waktu dia nemuin semacam "puzzle talk" di pasar. Penjualnya ngomong cepat banget, dan dia cuma bisa tangkap satu dua kata doang. "Ini… diskon? Atau harga normal?" Dia cuma manggut-manggut aja, sampe akhirnya ngerti juga setelah liat orang lain bayar. Ternyata harganya lebih mahal buat turis—tapi dia udah keburu bayar. Sekalian aja lah, namanya juga pengalaman. Kadang dia ketawa sendiri inget betapa konyolnya dia waktu itu.
Dia pernah juga ngobrol sama seseorang yang ternyata dokter. Tapi karena bahasanya masih belepotan, dia kira orang itu tukang masak. Pas ngobrol panjang, baru ngeh—oh, "professions" di sini beda cara ngomongnya. "Jadi selama ini aku ngira dia jualan nasi padang, ternyata dia ahli bedah?" Gila, salah paham level dewa. Untung aja temenya itu baik dan cuma ketawa-ketawa aja ngeliat kebodohannya.
Suatu hari, dia nyoba bikin wajah lucu ("funny face") pas foto sama teman-teman barunya. Ternyata ekspresi "lucu" di sini beda sama di kampung halamannya. Alih-alih dikira ngakak, malah dikira lagi sakit perut. "No, no, I’m just… happy?" ujarnya canggung. Tapi lama-lama mereka ngerti juga—dan malah ikut-ikutan bikin muka konyol. Akhirnya jadilah foto-foto dengan ekspresi yang bahkan gak bisa dideskripsiin.
Kadang dia dapat perintah atau saran dari orang lokal yang bikin dia bingung. "Guess the command" jadi permainan sehari-hari. Misalnya, ada yang bilang, "Jangan lupa bawa itu!" Eh, ternyata maksudnya payung, bukan jaket. Atau, "Nanti kamu harus ke sana sebelum jam tiga!" Ternyata "sana" itu bukan toko, tapi kantor imigrasi. Hidup di negeri orang emang seru-seru bingung gini.
Terakhir, waktu belanja, dia muter-muter aja dulu ("roll and spell") sambil coba inget-inget nama barang yang mau dibeli. Tapi lidahnya masih kaku, jadi pas bilang "susu", yang keluar malah "sushi". Penjualnya bengong, "Kamu mau beras atau ikan?" Dia malu-malu ngaku, "Maaf, maksudnya… uhh… yang putih, diminum…" Akhirnya dikasih susu kedelai karena dikira vegan. Padahal mah cuma salah ngomong doang.
Gitu deh ceritanya—hidup di tempat baru emang penuh salah paham, tapi justru itu yang bikin seru. Lama-lama jadi kebiasa, dan semua kesalahan itu malah jadi bahan ketawaan bareng teman-teman barunya. Yang penting, jangan takut buat kelihatan konyol!