Selasa, 21 Oktober 2025

Memasuki Negeri


  📍 Di Sana Karena Dia

Aku ada di sana karena dia.Dia pun begitu, di sana karena dia.Industri teknologi yang mempertemukan,acara untuk kita yang sebaya,berkumpul dalam satu wadah.

Bukan untuk mencari,melainkan untuk unjuk gigi.Mengangkat siapa lagiyang kini paling mengerti.Kalau masih mungkin lagi,sejak pagi kita hanya berbagi—saling mengisi meski hal biasa,juga yang termasuk easy.Bahkan semua boleh berbagitentang apa yang sangat ingin diketahui.


🚻 Kebetulan di Toilet

Umpama kata “kebetulan” yang muncul,memang dari situlah tepatnya.Jumpa saat sama-sama di toilet.Selesai keluar, aku ambil sisir dari tas, berdiri di depan cermin.Ada mahasiswa UMN juga di sana,sedang mencari-cari sisir di tasnya.Setelah ketemu, ia berdiri menyisir sambil bertanya lirih:

“Tadi kamu merinding kagak waktu lewat lorong ke sini?”

“Nggak tuh,” jawabku sambil membenahi rambut.“Tadi sempat lihat koleksi anggrek yang cakep-cakep.Ada yang wangi juga, sepertinya dari koleksi itu.Cuma nggak ada yang tahu namanya.”

Obrolan pun mengalir ke mana-mana,tanpa kami sadari.


🧠 Sesi Awal yang Mengambang

Saat sesi awal dimulai, pikiranku masih ke sana ke mari.Mata berkeliling, mengamati peserta dari berbagai asal.Rasanya lebih nyaman mengakui:aku belum sepenuhnya mengerti isi pembicaraan.

Teman di belakangku membuka obrolan pelan.Ngajak kenalan, ternyata ia dari Mulawarman.Wah, jauh juga ia datang ke sini.Obrolan itu jadi awal yang melegakan.Ternyata bukan cuma aku yang belum ngerti arah diskusi.Setidaknya, kami sama-sama baru pertama kali ikut acara beginian.Dan itu cukup bikin tenang.


☕ Coffee Break dan Percakapan Ringan

Kata demi kata menggelinding,bukan tentang aku, bukan tentang yang kutahu.Pasti ada di antara mereka yang mahir mengolah kerjaan dan keadaan seperti ini.Tapi rasa penasaran tetap menyembul:bagaimana cara memetik manfaat dari event seperti ini?

Saat coffee break pertama,kulihat ID tergantung di leher seseorang yang mendekat.Dari UPH, senyum ramahnya menyapa:

“Halo, sepertinya kita tadi datang hampir bareng ya. Kamu sama cowok yang tinggi itu ya?”

Suaranya membuatku mencari sosok yang ia maksud.Ternyata bukan.

“Oooh, mirip banget. Bukan itu, rambutnya agak ikal. Nggak lihat dia di ruang ini, mungkin masih keluar.”

Aku menjawab sambil meneguk teh dan mencoba mencarinya.

“Ngomong-ngomong, tadi ikut full nggak?”

Aku mengangguk sambil mengangkat ibu jari.

“Itu tadi cowokmu ya?”

“Ha...? Emang cocok, Kak? Dia itu kakakku. Kebetulan lagi libur, pulang ke Indonesia.Beberapa hari lalu temannya di Jakarta ngajak ikutan acara ini.Terus maksa ngajak aku nemenin.Kalau dia sih, sampai sekarang kayaknya masih jomlang, Kak.”

“Jomblo kali ya? Kenalin dong!”

Ia menepuk punggungku lalu berkeliling.Sementara kakakku belum juga kelihatan di ruang ini.

📘 Lanjutan Cerita: Menyulam Mimpi di Tengah Keramaian

Meski awalnya hanya sebagai pendamping, ia mulai merasa bahwa dunia yang sedang ia intip ini bukan sekadar milik para mahasiswa. Ia pun bisa menjadi bagian darinya suatu hari nanti. Setiap obrolan ringan, setiap senyum ramah, dan setiap sesi diskusi yang semula terasa asing, perlahan membuka pintu-pintu baru dalam pikirannya.

Di sela-sela coffee break kedua, ia duduk di sudut ruangan sambil mencatat hal-hal yang menarik di buku kecilnya. Seorang peserta dari luar negeri—berlogat Inggris campur Indonesia—menyapanya dan bertanya, “Kamu masih SMA? Hebat bisa ikut acara kayak gini.”

Ia tersenyum malu, lalu menjawab, “Awalnya cuma nemenin kakak. Tapi sekarang malah pengen ikut terus.”

Obrolan itu berlanjut hingga mereka membahas jurusan impian. Ia menyebutkan satu bidang yang membuat matanya berbinar—jurusan yang menggabungkan teknologi dan seni. Teman barunya mengangguk antusias, “Itu keren banget. Di kampusku ada program kayak gitu. Kamu pasti cocok.”

Malam itu, sepulang dari acara, ia menatap langit dari balkon penginapan. Di antara gemerlap lampu kota dan suara kendaraan yang samar, ia menuliskan satu kalimat di buku kecilnya:

“Aku ingin kembali ke sini, bukan sebagai penonton, tapi sebagai peserta yang membawa karya dan mimpi.”

🏛️ Borobudur

Entah kenapa, tiba-tiba terlintas:Borobudur.Mungkin karena suasana,atau karena pertemuan yang terasa seperti ziarah kecil—menyusuri lorong-lorong pengalaman baru dalam acara yang tak sepenuhnya kumengerti, tapi tetap ingin kujalani.


📚 Bab Baru: Menyusun Langkah, Menyulam Harapan

Sepulang dari acara itu, ia tak lagi melihat kampus sebagai tempat asing. Ia mulai membayangkan dirinya duduk di bangku kuliah, berdiskusi, berkarya, dan menjadi bagian dari komunitas yang ia kagumi. Meski masih SMA, ia merasa waktunya untuk bersiap sudah dimulai.

Ia pun mulai menyusun rencana kecil:

  • Membuat daftar jurusan yang sesuai dengan minatnya

  • Mencari tahu PTK dan PTN yang membuka program tersebut

  • Mengikuti webinar dan workshop daring

  • Bertanya langsung pada kakaknya dan teman-teman barunya tentang pengalaman kuliah

Setiap malam, ia menyempatkan diri membaca blog mahasiswa, menonton video pengalaman kuliah, dan mencatat hal-hal penting di jurnal pribadinya. Ia bahkan mulai mencoba belajar mandiri lewat platform gratis—meski kadang bingung, ia tetap gigih.

Suatu sore, ia berkata pada dirinya sendiri:

“Aku nggak cuma ingin masuk kampus. Aku ingin siap saat aku sampai di sana.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Memasuki Negeri

  📍 Di Sana Karena Dia Aku ada di sana karena dia.Dia pun begitu, di sana karena dia.Industri teknologi yang mempertemukan,acara untuk ki...